Ayah, beliaulah inspirasi utamaku dalam berjuang untuk menggapai cita-cita.
Aku ingat sekali ketika aku kelas 2 dan ingin naik ke kelas 3. Saat itu sedang Crisis Moneter (Krsis Keuangan) yang mengakibatkan kondisi perekonomian negara kita berantarak. Mungkin itu adalah efek general dari peristiwa itu, tapi efek khusus bagiku adalah dipecatnya ayahku dari pekerjaannya sebagai karyawan tetap di sebuah perusahaan Boiler di Jakarta.
Saat itu kulihat raut wajah ayahku yang sangat lesu sedang berdiskusi dengan ibuku. Sebagai seorang kepala keuarga, beliau sangat memikirkan keadaan anak-anak dan istrinya. Terutama masalah ekonomi dan pendidikan. "Sudah menjadi tanggungjawab ayah, le" begitu katanya kepadaku ketika aku bertanya.
Ayahku seorang yang sangat bertanggung jawab. Aku ingat sekali ketika aku bilang, "yah, sepatuku udah mau jebol nih". ketika itu ayahku langsung bilang, "oke besok kita beli sepatu baru di Pasar Baru". Begitu pun dengan kakakku, ketika ia bilang, "ayah, tas mba udah jebol". Seketika itu pula ayahku langsung bilang, "besok kita beli yang baru, kamu mau yang seperti apa ndo?"
Tapi, setelah krisis itu terjadi, semua menjadi agak beda. Yaps, crisis moneter itu mengubah kehidupan kami. "Jangankan buat beli mainan, buat makan besok aja ayah masih mikir" begitulah kata ayah saat aku meminta mainan tamagochi (tau gak? itu lhoo mainan hewan digital yang kalo sakit bisa kita suntik, dan kalo laper bisa kita kasih makan, nah sekarang inget kan? heheh)
Setelah keluar dari perusahaan (baca : dipecat) ayah bingung mau kerja dimana dan jadi apa. Sebab sebagai seorang tamatan SMA, beliau hanya punya skill nge-las (baca : tukang las). Berbeda dengan ibuku yang tamatan SPG, yang saat itu dan sampai sekarang beliau masih jadi guru TK dan SD, saat itu gaji ibuku di TK hanya sebesar 75rb dan di SD 150rb. Walaupun bisa dicukup-cukupkan untuk hidup, namun ayah tak menyerah, bagi ayah, ia harus tetap menafkahi keluarga, sebab itu adalah tanggungjawabnya. Ayah pun mulai ikut dagang di pasar, mulai dari bantu-bantu pedagang mengangkat barang.
Tak lama berjihad dipasar, ayah pun ditawari menjadi security sebuah gudang makanan di kawan Sunter Blok A. Pekerjaan menjadi security pun ayah jalani untuk menambal biaya sekolah kami. Setahun menjalani pekerjaannya, ayah tiba-tiba dipanggil oleh Big Bos. Ketika ayah menghadap, sang Bos bilang, "pak Joko, mulai besok bapak tidak bekerja disini lagi, menjaga gudang ini lagi". Ayah saat itu kaget dan takut, takut kehilangan pekerjaannya, karena pekerjaan untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Lalu ayah dengan rasa sedih mohon pamit dan keluar dari ruang kerja si Bos. Sebelum keluar, sang Bos bilang, "pak Joko, saya belum selesai bicara". Ayah pun tidak jadi pergi dan kembali duduk di kursi. "Besok bapak tidak bekerja disini lagi, tapi bapak saya oper ke kantor Koko (kakak) saya, dia butuh security di kantornya. Saya promosikan pak Joko untuk pindah kesana, ke tempat yang lebih nyaman dan berpenghasilan lebih besar", begitulah kata sang Bos. Lalu ayah pun dikasih alamat kantor Kakaknya sang Bos. Keesokan harinya, ketika ayah tiba di kantor kakaknya sang Bos. Ayah kaget, bahwa alamat tersebut adalah alamat sebuah bank swasta. Singkat cerita, ayah pun bertemu dengan pimpinan dan besok bisa langsung kerja.
Seminggu menjadi security di Bank tersebut ayah izin tidak masuk mendadak, karena harus menjaga ibu yang sedang sakit dirumah. Entah saat itu ibu sakit apa, yang jelas disitulah kesetiaan seorang suami terhadap istrinya terlihat. Sore harinya, Bos (baca : manager) bank tersebut mendatangi rumah kami, dengan niat ingin menegur ayah yang baru seminggu kerja udah bolos. Sesampainya dirumah kami, Bos yang niatnya ingin menegur ayah, tapi terbalik, malah merasa iba dengan keadaan rumah kami yang sungguh sangat sederhana. Dan ketika kami (aku dan kakakku) pulang sekolah, kami bertemu secara singkat dengan Bos yang ingin pamit.
Keesokan harinya, ayah dipanggil ke ruang manager. Rasa takut dipecat pun kembali menghantui ayah. Tapi Alhamdulillah, apa yang dipikirkan oleh ayah tidak terjadi. "Pak Joko, saya boleh bertanya?" kata sang manager. "boleh pak, silahkan", jawab ayah singkat. "maaf sebelumnya, bagaimana keadaan istri bapak? oia saya mau tanya anak-anak bapak kelas berapa?", tanya sang manager. "Alhamdulillah pak, istri saya sudah agak sehat. anak pertama saya yang perempuan kelas 5 SD dan yang laki-laki kelas 3 SD pak, memangnya ada apa?", tanya ayah karena penasaran. "ooh tidak ada apa-apa pak. hmm,, begini, maaf lagi sebelumnya, apakah penghasilan bapak cukup untuk makan, biaya hidup dan pendidikan anak-anak?", tanya sang bos. "yaaa, dicukup-cukupkan pak", jawab ayah singkat. "begini pak, mungkin saya tidak bisa menaikkan atau menambah penghasilan bapak karena takut ada karyawan lain yang iri hati sama bapak, naaah di kantor ini ada suatu sistem bagi karyawan yang bekerja disini, bagi anak karyawan yang berprestasi akademik maupun non akademik, akan mendapatkan beasiswa untuk pendidikannya. syaratnya, Akademik (sekolah) anak bapak harus mendapatkan ranking (peringkat) 5 besar disekolah, semakin tinggi peringkatnya, maka semakin besar beasiswa yang akan diberikan, sedangkan untuk non-akademiknya, jika anak bapak berprestasi mendapatkan medali atau piagam bisa diajukan untuk mendapatkan beasiswa prestasi. nah apakah anak-anak bapak memenuhi salah satu syarat yang saya jelaskan barusan?", jelas sang bos." alhamdulillah pak anak-anak saya cerdas, yang pertama ranking 5 dan yang kedua ranking 2". jelas ayah singkat. "baiklah kalo begitu, besok bawa fotokopi raport anak bapak dan juga fotokopi KK". kata sang bos. " baik pak, segera saya bawa", jawab ayah dengan senyuman.
Sesampainya dirumah, ayah pun bercerita kepada kami, anak-anaknya. Mendengar cerita ayah, kami pun semakin termotivasi untuk berprestasi baik secara akademik maupun non-akademik. Sejak saat itu, aku dan kakakku alhamdulillah selalu berprestasi baik akademik dan non akademik, kami selalu juara kelas dan mendapat beasiswa dari kantor ayah. Ayah pernah bilang, "mungkin kalo nggak dari kantor, ayah ga bisa nguliahin kalian. ini bener-bener rejeki dari Allah untuk kalian anak-anak ayah".
Hingga saat aku menulis sebuah catatan ini, kakakku telah menyelesaikan studinya Strata 1 di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA, mengikuti jejak ibuku yang menjadi seorang guru SD. Sedangkan aku masih berusaha untuk lulus secepatnya dari studi Starata 1 ku di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA.
Satu kalimat yang ayah berikan dan selalu kuingat, "teruslah mencari ilmu, berprestasi, dan membanggakan orangtua, karena menuntut ilmu dan berprestasi tidak memandang usia seseorang". Ayah mengucapkan itu ketika ayah wisuda Strata 1 Program Studi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Tinggi Agama Islam Salahuddin Al-Ayyubi. Ayah yang sibuk mencari nafkah pun masih melungkan waktunya untuk menuntut ilmu, walaupun saat itu usia ayah sudah tidak muda lagi yaitu 46 tahun. Di lingkungan rumah dan dikantornya, tak ada yang tahu bahwa ia seorang sarjana, karena bagi ayah, ia kuliah bukan untuk mencari gelar dan naik pangkat, tapi ia hanya benar-benar ingin menuntut ilmu agar ketika ia pensiun kelak, masih dapat mengajar ngaji cucu-cucu, anak-anak, dan tetangga-tenangga, menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama.
Ya, begitulah ayahku, inspirasi hidupku (^.^)